Wednesday, November 16, 2016

Contoh Penggunaan Imbuhan –isasi dalam Bahasa Indonesia


Di masa pemerintahan Orde Baru dulu, banyak kita temukan pemakaian imbuhan asing –isasi. Di berbagai surat kabar atau media tulis lainnya. Misalnya : 1. Kuningisasi yang dilakukan di Alun-alun Purworejo yang bersama itu dipandang telah mengurangi hak-hak orang lain. 2. PPP Daerah istimewa Yogyakarta persoalkan hitamisasi plat mobil dinas. Pemakaian imbuhan isasi ini masih berlanjut sampai sekarang seperti terlihat pada contoh berikut: 1. Rampokisasi (IMF) datang lagi. 2. Jakarta Tak Beri Izin Kuningisasi Angkutan Berplat Hitam (Judul Berita). Pertnyaannya, masih perlukah imbuhan asing itu dikembangkan bahkan dalam Bahasa Indonesia? Dapatkah imbauhan asing –isasi (bahasa inggris: -isation atau –ization) kita terima sebagai imbuhan bahasa Indonesia? Di dalam buku Tata Bahasa indonesia (1993:266) ditegaskan jika imbuhan Indonesia dapat mengungkapkan konsep yang sama, imbuhan asing tidak perlu kita pakai. Saya setuju dengan sikap dan pandangan ini. Ketika seharusnya mengutamakan pemakaian bentuk Indonesiannya daripada bentuk asingnya, kecuali di dalam bahasa Indonesia tidak ada padanannya. Misalnya, kita dapat menerima imbuhan asing man, wan, dan wati yang menyatakan makna ‘orang yang melakukna pekejaan seperti yang disebut kata dasarnya’ (usahawan, wisatawan, karyawati, ‘orang yang melakukan pekerjaan di bidang tertentu’ (wartawan, seniman, dan sastrawan), ‘orang yang memiliki sifat-sifat tertentu’ (sosiawan, dermawan). Kita terima bentuk itu karena bahasa kita mempunyai akhiran pengungkap makna orang. Oleh karena itu, akhiran man, wan, dan wati dapat kita terima. Bagaimana dengan rampokisasi, kuningisasi, dan hitamisasi? Bentuk ini perlu dihindarkan pemakaiannya. Karena akhiran –isasi pada kata-kata itu padanannya dalam bahasa Indonesia, yakni pengimbuhan pe –an atau peng –an.
Oleh karena itu, wartawan dan penulis sebaiknya memilih bentuk Indonesianya, yakni pe-rampokan, penguning-an, peng-hitaman dalam konsep yang sama. Bagaimana dengan bentuk urbanisasi, modernisasi, atau standarisasi, misalnya, yang sudah diterima sebagai kata Indonesia?  Bentuk itu bukan kita terima dari bentuk dasar urban, modern, dan standar ditambah dengan imbuhan –isasi. Bukan sama sekali. Kita memungut kata itu secara utuh dalam bentuk aslinya (urbanisation/urbanization, modernization, standarization), kemudian kita sesuaikan ejaan Indonesia seshingga menjadi urbanisasi, modernisasi, atau standarisasi. Lagi pula, kata dasarnya bukan kata Indonesia asli. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa rampok, hitam, atau kuning adalah kata-kata Indonesia asli. Jadi, tidaklah tepat pembentukannya diberi imbuhan asing seperti –isasi itu. Oleh karena itu, perlu dihindarkan pembentukan kata Indonesia dengan imbuhan asing –isasi itu.